KETRAMPILAN KONSELOR KLINIK VCT (STUDI KASUS DI BKPM PARU SEMARANG)
Abstract
Tuberkulosis merupakan penyebab utama kematian pada orang dengan HIV / AIDS, dan sebaliknya infeksi HIV menjadi faktor risiko terbesar dalam kasus TB(tuberculosis) laten menjadi TB(tuberculosis) aktif. Berdasarkan data WHO, 539.000 orang dengan HIV / AIDS telah terinfeksi TB setiap tahunnya, di mana101 orang meninggal dunia. HIV akan menginfeksi kekebalan tubuh dan membuat tubuh tidak bisa mengendalikan bakteri TB sehingga orang dengan HIV yang baru saja terinfeksi TB, akan terus menjadi TB aktif. Hal ini dikarenakan HIV mampu memicu bakteri TB yang tidak aktif menjadi aktif. Konseling dan tes sukarela atau VCT (voluntary counceling and testing) adalah pintu gerbang untuk membantu semua orang mendapatkan akses ke semua pelayanan, baik informasi, pendidikan, terapi atau dukungan psikososial untuk melawan HIV dan AIDS. Oleh karena itu setiap konselor VCT harus memiliki danmengembangkan ketrampilan: empati, bersimpati, mendengar aktif, diam, dan parafrase, refleksi, kemampuan verbal, dan keterampilan non-verbal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterampilan konselor VCT di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM), Semarang. Desain penelitian ini adalahpenelitian kualitatif dengan menggunakan metode survei dan pendekatan studi kasus. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap 5 subyek penelitian yang diperoleh dengan teknik purposive sampling (pasien TB yang mengikuti konseling di klinik VCT 3 bulan terakhir). Validitas data dilakukanmelalui triangulasi sumber kepada tiga informan crosscheck, yaitu konselor klinik VCT, keluarga subyek penelitian dan Kepala Bidang Promosi BKPM Semarang. Data dianalisis dengan menggunakan analisis isi (content analysis). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar subjek penelitian telah menderita TB (tuberculosis) selama 2 tahun dan telah melakukan konseling di klinik VCT sebanyak 2kali. Usia subyek penelitian berkisar antara 33 sampai 47 tahun. Sebagian besar subyek penelitian berpendapat bahwa kontak mata yang dilakukan konselor saat konseling terlalu berlebihan sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman (keterampilan mendengarkan aktif). Setelah konseling selesai, sebagian besar subyek penelitian berpendapat bahwa konselor tidak menyampaikan kesimpulan dari kegiatan konseling yang baru saja dilakukan kepada pasien (keterampilan parafrase) sehingga subyek penelitian tidak mengetahui manfaat konseling yang dilakukan saat itu. Namun demikian konselor telah menyediakan dukungan positif terkait dengan penyakit yang diderita oleh subyek penelitian (keterampilan empati).Perlunyan pemantauan dan evaluasi secara periodik terhadap aktivitas konseling di klinik VCT, serta peningkatan ketrampilan konselor melalui pelatihan-pelatihan yang mendukung hard skill dan soft skill konselor dalam melakukan konseling di klinik VCT.Kata kunci: konseling, keterampilan, klinik VCTDownloads
Published
2011-04-16
Issue
Section
HEALTH